Pada tahun-tahun belakangan ini dengan semakin derasnya arus informasi dalam dunia digital, orang sekarang menyebutnya 4.0, bahkan di Jepang sendiri pada tahun 2019 sudah mengumumkan tentang 5.0, besok-besok mungkin akan ada 8.0? Entah di mana! Indonesia? 4.0 pun masih kelabakan. Dengan berkembangnya teknologi tersebut, orang-orang semakin mudah dalam memakan informasi, bahkan kadang-kadang ditelannya mentah-mentah, ditelannya bulat-bulat tanpa tahu ujung pangkalnya. Akibatnya, lima hari kebelakang si Tarik dilanda kebingungan setelah berbicara panjang dengan kekasihnya yang berujung menggantung di kepalanya – tanda tanya.
Inti dari pembicaraan itu adalah mengenai mahar. Mulanya: telah tiga bulan dia dilanda dengan kesengsaraan birahinya. Dia sudah benar-benar kebelet ingin meggolekkan benda tumpulnya di perlabuhan idaman. Namun, kerjaannya yang begitu-begitu saja tak kunjung mendukungnya, sekadar buruh pabrik yang setiap bulan ditagih pula dengan cicilannya yang merenggut seperempat upahnya, dan masih terpaut setahun setengah. Belum lagi biaya hidup dari bulan ke bulan yang kadang-kadang membuat habis tandas tak tersisa, bahkan sesekali meminjam pada kawan untuk menyambung hidup sehari dua.
Tiga bulan terakhir itu pula kekasihnya pernah melapor, bahwa sempat ada orang datang ke rumah dengan maksud mendudukan perkara batin atas dirinya. Kabarnya, orang yang datang ke rumahnya itu adalah seorang berseragam, seorang PNS. Bergejolaklah darah si Tarik mendengar itu. Batinnya tak tenang, setiap malam gelisah, kepalanya berkepundan, cenat-cenut. Tapi kekasihnya memberikan obat penenang sementara, bahwa orang itu selambat-lambatnya akan datang lagi setelah enam bulan menjelang – setelah penempatan. “Aku pun cinta sama kamu, Bang,” tambah kekasihnya.
Bagi si Tarik kabar itu bukan sebagai penenang, melainkan sebagai sumber pemutus harapan. Meski demikian, dalam hati kecilnya terdapat secuil bara api yang tak mematikan harapan itu, cinta dan cita, yang kadang-kadang membuatnya bersemangat, meyakinkan pada dirinya “Bisa. Bisa. Bisa!”
Sampai akhirnya tibalah pada malam itu, pada pembicaraan malam itu, pembicaraan tentang mahar dan mengadukan nasibnya:
“Tri, sudah tiga bulan aku bersusah payah dan bersusah hati, seakan berlomba lari sambil dikejar macan ...”
Trimurti terdiam.
“Terus berlari terasa jauh, berhenti pun matilah sudah aku waktu itu juga.” Tarik menghela nafas seraya melihat kedipan layu Trimurti. Melanjutkan lagi, “Bagaimana tidak? Kau tahu sendiri, keadaanku belum lagi baik sampai sekarang, bahkan sudah direncana menabung pun tandas pula ujungnya. Di lainnya, aku pun tak sudi kalau-kalau kau dikawini orang!”
“Bang, orang tuaku sudah sering menanyai aku. Aku dikatainya sudah berumur, sudah pas buat menikah. Lagi pula, Bang, apa yang kau resahkan?”
“Apa yang aku resahkan ...?” Tarik mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Modalnya! Untuk mahar pun aku bingung. Apalagi kau bilang waktu itu, kalau mahar tidaklah memberatkan laki-laki dan tidak merendahkan perempuan. Justru dengan kalimat itu aku merasa berat.”
Trimurti menghembuskan nafas kecewa, “Entahlah, Bang. Tiga bulan lagi akan menjelang. Orang itu sudah pasti-pastian kepadaku dan kepada orang tuaku perihal mahar. Bahkan, tempat tinggal pun sudah tak perlu aku pikirkan katanya. Aku hanya tinggal hidup enak, katanya.”
“Kau mau?”
“Orang tua, Bang.”
“Berapa mahar yang akan dia kasih?’
“Logam mulia, Bang.”
“Logam mulia?”
“Ya, Bang. 50 Gram.”
Tarik terdiam seketika. Napasnya berhenti sesaat. Matanya kosong.
“Bang? Kenapa diam?
Tarik masih terdiam. Kepalanya menunduk.
“Bang?”
Hanya ada satu benang dalam pikirannya. Dia menarik napas perlahan seraya mengangkat kepalanya. “Tri?” Pelan dia memecah keheningan.
“Iya, Bang?” Tri melihat wajah Tarik yang hampa tanpa perlabuhan.
“Apakah logam mulia 100 gram tidak membuatmu rendah, Tri?”
Tempat tidur, Bandung, 19 Januari 2023
Muhammad Saepul Rizal