SD Negeri Mekarjaya 3 bersebalahan dengan toko bunga yang baru-baru itu diresmikan sebagai toko cabang. Aku lihat di halaman depannya terparkir sebuah mobil sedan berwarna hitam. Selang beberapa menit, dan hujan masih dengan derasnya, dari toko bunga itu keluar seorang lelaki berpakain rapih – kantoran - berjas hitam. Dia berdiri di depan pintu toko, membandingkan jam di lengan kirinya dengan hujan yang tak kunjung reda. Dia melihat ke kiri dan ke kanan, sampai matanya jatuh ke arahku. Aku langsung memalingkan pandangan dan mataku terbenam ke dalam sebuah genangan di bawahku.
Laki-laki itu tampan, tanpa sadar baru saja aku melewatkan waktu beberapa detik dengan memandanginya. Dia kembali masuk ke dalam toko itu, dan pandanganku kini menembus deras hujan ke sebrang jalan. Sebuah gerakan terlihat oleh sudut mataku dari arah toko; lelaki itu keluar lagi dengan membawa sebuah mantel, lalu memayungkan di atas kepalanya. Mungkin dia akan menerobos hujan dan masuk ke dalam mobil? Tetapi dugaanku salah. Dia malah berlari ke arahku dengan sedikit menjinjit. Dan, sekarang dia benar-benar ada di hadapanku, “Maaf, aku lihat kamu basah kuyup. Pakailah mantel ini.” Suaranya dikencangkan, berlomba dengan suara derasnya hujan. Aku kaget, hanya terpaku dan memandanginya. Dia menyodorkan mantelnya. Aku masih kaku memandanginya, sedang dalam hati bergemuruh seperti pacuan kuda. “Hey...!” Seketika pandanganku kabur, dan aku kembali menanamkan wajahku ke dasar kubangan. Kembali dia menyodorkan mantelnya, “Pakailah, bajumu basah.”
Aku sudah tidak kuat lagi dengan dingin yang menerpa, aku pun mengangkat kepala dan menerima mantel itu. Aku merasa nyaman ketika berada di dekatnya. Entahlah, tetapi perasaan itu ada. Dia mengenalkan dirinya bahwa dia adalah pemilik dari toko bunga itu. Aku pun mengenalkan diriku yang seorang guru kelas satu sekaligus sebagai wali kelasnya. Dia memujiku dengan bibir yang manis, “Kamu hebat.” Aku tersipu mendengar pujiannya. Setelah beberapa kata aku tukar dengannya, dia menawarkan tumpangan pulang kepadaku. Namun, aku menolaknya, dengan alasan hujannya telah reda dan mungkin delman akan segera datang. Dia memahi alasanku itu, tetapi menolak mantelnya untuk dikembalikan, “Pakailah, untuk di jalan, dingin, nanti kalau sempat kamu boleh mengembalikannya.”
Sejak saat itu aku sering bertemu dengannya, dan mulai tahu banyak hal tentangnya. Selain dia mapan juga tampan, ternyata dia adalah seorang duda, yang sudah tiga bulan bercerai dengan istrinya. Satu bulan aku mengenal dirinya, dan setelah satu bulan itu aku telah menjadi kekasihnya. Dia mengajakku untuk menikah. Itulah alasan kenapa aku tidak mundur walau aku tahu dia seorang duda, walau aku sadar kenyataan bahwa dia telah menikmati tubuh wanita lain, tetapi aku yakin dia baik. Terlebih karena aku mulai resah dengan vonisan saudara, tetangga, dan orang sekampung dengan cibiran: so cantik, so kecakepan, pilih-pilih, “Jadi perawan tua baru tahu rasa.” Padahal aku tidak seperti itu, mungkin memang Tuhan belum memberikan saja. Rasa-rasanya dunia itu menghakimi, gelap, dan sunyi, karena memang cuma aku satu-satunya perempuan yang belum menikah di kampungku. Teman-teman seusiaku – seangkatan sekolahku - semuanya sudah menikah, bahkan memiliki satu, dua, sampai tiga anak. Ibuku selalu mengobati dengan lembut, “Sabar, Nak.” Tetapi telingaku tetap saja terasa rombeng. Sampai akhirnya aku memutuskan berlabuh kepadanya. Aku belum menanyakan kenapa dia bercerai dengan istrinya, karena aku takut pertanyaan itu akan menyinggungnya. Tetapi di lainnya, pertanyaan itu wajar untukku: calon istrinya, dan bahkan pertanyaan itu wajib aku ajukan agar aku bisa menimbang kedepannya dengan lebih matang.
Tiga bulan aku menjalani hubungan, dan kedua orang tuaku sudah mengenalnya, tetapi belum juga ada kepastian atas ajakannya untuk menikahiku. Aku berpikir, mungkin karena dia sibuk dengan pekerjaannya. Aku juga belum sempat dan berani menanyakan alasan kenapa dia bercerai. Sampai suatu hari, hari sabtu (aku masih ingat), dia susah untuk dihubungi; pesan dan teleponku tidak dijawabnya, bahkan di hari-hari sebelumnya hanya kadang kala membalas pesan dariku. Setelah pulang mengajar, aku langsung pulang ke rumah, berniat hanya untuk mengganti pakaian dan akan langsung datang ke rumahnya. Aku khawatir dia sakit atau kenapa-kenapa, dan aku membawa makanan untuknya: masakan rumah. Ketika sampai di rumahnya, mobilnya terparkir di halaman depan. Aku melewati mobil itu, kap mobilnya terasa panas; tandanya mobil itu baru saja digunakan. Dengan takzim aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam, namun setelah diulang-ulang tetap saja tidak ada jawaban. Aku masih merasa khawatir akan keadaannya, aku coba dorong pegangan pintu itu, dan, ya, sesuai harapan; pintunya tidak dikunci. Lantas aku masuk tanpa mengindahkan lagi salam dan ketukan pintu. Aku berjalan dari ruangan ke ruangan, sangat sepi. Aku merasa dia ada di atas, di kamarnya, di lantai dua. Aku menaiki tangga. Ketika aku ada di anak tangga terakhir, aku mendengar desahan seorang wanita. Seketika aku gemetar. Aku melangkah dengan penuh prasangka yang buruk dalam kepalaku. Suara desahan itu semakin keras ketika aku berada di bibir pintu. Semuanya serba kebetulan, pintu kamar itu tidak ditutup dengan rapat. Aku dorong perlahan pintu itu sampai aku bisa mengintip dengan jelas. Seketika mataku bisa melihat dengan jelas, aku langsung membanting pintu itu, aku dapati dia sedang terbenam di dalam lembah dan bergelantung di atas gunung. Aku berteriak “Dasar laki-laki berengsek!” sambil aku lemparkan makanan yang aku bawa kepadanya yang sedang asyik ugal-ugalan di atas tubuh wanita sundal itu.
Aku langsung berlari keluar, penuh dengan rasa kecewa, kesal, marah dan menangis, menghardik dan menyumpahinya. Kalau bisa aku kutuk dia. Aku tak ingin lagi melihat wajahnya. Semua dugaan baikku kepadanya aku sesali, sangat aku sesali. Kelakuannya itu sekaligus menjawab pertanyaan yang tak ingin lagi aku ingat.
Sejak saat itu aku menjadi trauma dekat dengan lelaki mana pun. Dan itu aku jalani sampai dua tahun lamanya. Dengan cibiran yang semakin menjadi, bahkan ditambahi dengan kalimat “Kekasih duda yang diselingkuhi.” Ah benar-benar hatiku remuk dan hancur, telingaku bukan lagi rombeng melainkan seakan tak memiliki lagi telinga. Tetapi beruntungnya aku memiliki ibu yang sangat lembut, “Sabar, Nak.” Sembari membelai rambutku yang hitam lurus nan panjang. Itulah obat termujarab untukku.
Malam ini, aku akan patahkan semua cibiran itu, aku akan dipinang oleh seorang lelaki yang usianya dua tahun lebih tua dariku, tetapi dia bukan seorang duda. Dia adalah seorang sarjana yang baru menyelesaikan tesisnya, dan sudah memiliki pekerjaan tetap pula. Kabarnya dia mengetahuiku dari salah seorang orang tua murid di SD Negeri Mekarjaya 3, tempatku mengajar. Dia datang minggu lalu ke rumahku, menanyakan kesedianku untuk menikah dengannya. Setelah malam itu, aku mencoba berdamai dengan diri sendiri.
Aku duduk di dalam kamar, sudah benar-benar tak sabar jari manisku ingin dikenakan cincin. Aku mendengar desas-desus orang berdatangan. Ayah dan ibuku terdengar menyambut dengan bungah. Kedua orangtuaku juga mengundang ustad untuk menerima niat baik yang dibawa oleh tamu itu. Beberapa saudaraku juga hadir. Lalu aku dipanggil keluar oleh ibuku. Acara tunangan dilangsungkan. Dan, aku pun resmi bertunangan.
Aku kembali ke dalam kamar setelah acara benar-benar selesai. Aku berbaring, aku bentangkan tanganku ke atas dan kupandangi cincin yang melingkar di jari manisku, tampak indah mengkilat terkena sorot lampu. Aku menciuminya dan memeluknya. Aku benar-benar bahagia.
Dari hasil acara tunangan tadi, pernikahan akan dilangsungkan sebulan kemudian, karena kekasih sejatiku harus menyelesaikan pekerjaannya selama satu bulan ke depan. Dan aku akan, akan, akan setia menunggu.
Hari-hari kulalui dengan semangat yang berbeda, dengan senang dan bahagia. Kecerahan tampak dalam wajahku. Aku takkan lagi mendapat vonisan meresahkan itu. Kalau pun ada, biarkan cincin di jari manisku ini yang menjawabnya. Kekasihku selalu mengabari keadaan dan keberadaannya tanpa aku tanyai, bahkan dia yang lebih dulu menanyai kabarku dan kabar kedua orangtuaku. Itu membuatku seakan menjadi seorang putri raja. Sekali lagi, aku benar-benar bahagia.
Tiga minggu telah berlalu, itu artinya satu minggu ke depan aku akan melangsungkan pernikahan. Ah, sudah tak sabar aku. Aku bangun ketika azan subuh berkumandang di atas menara. Aku salat. Belum selesai salam terakhir, pintu kamarku digedor dengan rusuh. Suara ibu berteriak memanggil-manggil dengan isak tangis yang membuatku kaget. Tidak kulepas mukenaku, aku langsung membuka pintu kamarku, “Nak!” kata ibu bersedu-sedan, panik. Aku panik. “Kenapa, Bu?” aku mendesak. Ibu tengah menggenggam telepon. Aku masih menunggu jawaban. Sedang ibu masih menangis sejadi-jadinya. Aku kembali bertanya dengan nada semakin mendesak, “Ibu, kenapa?!”
Aku langsung terpaku di atas lantai yang terasa dingin menyapa telapak kaki, diam dan membisu, ketika ibu menjawab bahwa kekasihku kecelakaan lalu lintas dan meninggal saat dilarikan ke rumah sakit. Air mataku berderai. Apakah ini mimpi?
Siang hari aku ikut mengantar jenazah ke pemakaman, air mataku tak henti-hentinya berderai. Pun demikian dengan ibuku yang telah memiliki harapan atas harapan anaknya. Bahu ayahku kujadikan sebuah muara air mata, tak kuat aku menyaksikan kekasihku di masukan ke dalam liang lahad. Rasa-rasanya aku ingin ikut bersamanya. Kedua orang tua kekasihku juga seakan tak rela anaknya meninggal, apalagi belum terwujud cita-citanya sebagai orang tua untuk mengawinkan anaknya.
Setelah proses penguburan selesai, orang-orang berangsur pergi meninggalkan pemakaman, sedangkan aku, orangtuaku, calon mertuaku, juga beberapa saudara dan kerabat dekat merubungi pemakaman. Tangisan ibunya belum reda, malah semakin menjadi. Air mataku pun masih bercucuran seirama dengan isaknya, tak selesai-selesai. Di dalam kesedihan itu, hatiku menjerit pada Tuhan: Ya Allah, selama Engkau rida aku pun rida.
Menjelang sore aku sampai di rumah. Pikiranku kalang kabutan. Aku tidak jadi menikah. Cibiran apalagi yang akan mereka lontarkan nanti kepadaku? “Si Perawan Tua tidak jadi menikah karena ditinggal mati tunangannya.” Apakah begitu? Atau lebih jahat lagi dari kalimat yang aku buat itu?
Ibuku membelai rambutku seraya berkata lembut penuh isyarat dan makna, “Sabar, Nak.”
CV Humaniora, Bandung, 2021
Muhammad Saepul Rizal