Di bawah pohon yang menaungi, aku berhadap-hadapan dengan wajah Fakultas Bahasa. Pena di tangan kanan dan novel science fiction ditopang oleh tangan kiri. Seperti biasa, pakaianku tidak lebih dari sepintal celana, setenun jaket, serupa kaus hitam sebagai lapisan dalam, dan cidi yang sudah tak baik bentuknya; tetapi berbakti pada tuannya.
Aku tidak benar-benar fokus membaca, garis-garis pena di bawah kalimat yang menarik pun tak benar-benar aku pahami secara dalam makna sebenarnya. Kadang aku mendengar motor berlalu, datang dan pergi, dengan bisingnya masing-masing. Sesekali aku pun memperhatikan beberapa orang yang menarik untuk dipandang. Bukan sekadar rupa! Tetapi caranya berjalan dan ekspresi yang ditampilkan mereka membuat cakrawalaku membentang dan menyusut, “tentang manusia memang selalu unik,” cemberutnya pun kadang menjadi sebuah misteri yang kelam dan menyeramkan. Tidak percaya? Siapa Tuan dan Nyonya di sini yang dapat menerjemahkan tatkala bibir orang lain lebih maju dari biasanya? Tidak, tidak ada! Sebagai pihak ketiga, kita hanya bisa menyimpulkan kalau orang itu sedang bersusah hati.
Setelah aku perhatikan beberapa orang yang menghiasi mataku, aku terpana, di mana ada yang lebih mengerikan dari orang yang terlihat bersusah hati dengan cembertnya, yaitu orang yang riang gembira, tertawa lepas, bahkan dapat membuat orang lain pun ikut tertawa. Padahal hatinya sedang dirundung kesakitan dan kepalanya sedang dicambuki oleh keadaan. Ya, “apa yang kita lihat belum tentu apa yang sebenarnya terjadi.” Mahasiswa pasti sudah tidak asing dengan kalimat itu, tetapi kesadaran kepada orang seperti itu kadang kita mengabaikannya. Bahkan, justru kita malah memanfaatkan dirinya untuk menghibur diri kita yang sedang diselimuti kesedihan.
Dari Fakultas Bahasa orang itu terlihat sedang duduk sendirian dengan pena dan buku di tangannya. Sepertiku? Tapi itu bukan aku! Apakah aku yang lain? Ah, tidak! Dia nampak lebih jujur ikhlas menjalani hidup. Sedang aku hanya lelaki sentimen yang selalu penasaran pada kebenaran. Kenapa dia bersikap bodoh seperti itu? Untuk apa Tuhan menciptakan “sedih” kalau dia lebih memilih tersenyum, padahal hatinya hancur. Dunia tidak akan seimbang jika hanya bertumpu pada suatu hal! Harus selalu pada kedua-duanya. Tampilkan saja kesedihan itu, jangan kau selimuti dengan senyum palsumu itu. Bodoh! Aku butuh kebenaran bukan tipu daya seperti itu.
Orang itu kemudian berdiri, sejenak dia benahi buku dan penanya itu, melihat kesekitaran dan berjalan sendirian. Kemudian hilang dari pandanganku. Sebentar kemudian, seseorang duduk di sampingku. “Untuk memperhatikan seseorang kau terlalu mencolok. Lagi pula untuk apa menampilkan kesedihan itu ditampilkan. Bungah maupun sedih yang ditampilkan tidak akan mengubah keadaan. Tetapi setidaknya tidak semua orang sepertimu yang dapat menerka perasaan orang lain,” orang itu berkata.