Aku tak sepandai saat kau merangkai huruf di sajak itu. Aku masih ingat yang kau tulis adalah tentang orang, semesta, dan kehilangan.
Tahukah kau? Semesta selalu punya warna, baik itu abu atau biru: keduanya memiliki makna.
Ketika September kala itu ia lukis warna abu, tolong beri ruang untuk Desember akan kulukis dengan warna biru, hingga seluruh pilu meluruh.
Kita tak pernah menikmati senja di sudut kota, namun doa selalu tergambar sebagai wujud rasa dalam memenuhi asa.
Kali ini, tidak perlu kau sembunyikan lagi luka di balik awan dengan sendirian.
Pergilah!
Temui aku di sebuah lorong harapan yang tanpa sengaja kau beri jalan.
Sekali lagi, kau telanjur kulukis dengan istimewa.
Bagaimana tidak bisa kulukis istimewa? Jika mata, senyum, dan tutur kau selalu menenangkan jiwa.
Masih ingatkah kau saat semesta mempertemukan kita?
Di bawah bintang, depan perpustakaan.
Masih ingatkah kata yang pernah kau sampaikan?
Mungkin bukan kata-kata jawabannya, tapi perasaan.
Kembali, perihal semesta, warna, dan makna.
Aku tak ingin seperti bianglala yang hadir hanya sekadar memikat mata, tapi lebih bermakna dari asmaraloka.
Kalau Sapardi mengatakan “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Aku pun ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan mengeja aksara, memberi warna, dan merangkai makna.
Banyak harap yang kubisikkan dengan manja, semoga kita akan bersama: walau pada akhirnya mungkin hanya sesederhana ketiadaan dan seluas ketidakpastian.
Pada setiap sudut semesta, alam menggema, melantunkan nada cinta yang syahdu. Secercah rona di bulan Desember seakan mengerti tentang kicauan rasa yang belum tercipta maknanya.