"Bagaimana? Apakah kali ini kita berhasil?" tanyanya lembut, seseorang yang menungguiku di depan ruang pemeriksaan, ia masih terbalut lengkap pakaian kerjanya, peluhnya masih terlihat di dahinya, aku sangat tahu ia kemari dengan tergesa. Di depan pintu ruangan, kami saling menatap. Aku bisa merasakannya, di dalam ucapan lembutnya ada kekhawatiran. Walaupun dia mencoba untuk tidak khawatir agar aku bisa tenang, namun tetap saja tergambar jelas dari wajahnya semua keresahan dan kekhawatiran.
Aku menatapnya sendu, membalasnya dengan gelengan kepala. Bendungan air mata yang berusaha kutahan seketika membuncah begitu saja. Tangisan pilu itu, aku tak kuasa untuk menahannya. Dia menggenggam tanganku, di bawanya aku untuk duduk di kursi tunggu yang tak jauh dari ruangan.
Kurasakan tubuhku ditariknya ke dalam pelukan hangat penuh kasih. Mengelus rambutku seraya ia eratkan dekapannya. Kecupan pada pucuk kepalaku, elusan halus di kepalaku, ia selalu berikan untuk menciptakan sebuah ketenangan. Ia tahu jelas bagaimana remuk hatiku untuk yang kesekian kalinya.
"Shh … sudah, tidak apa-apa, kita bisa berusaha kembali." bisikkan lembutnya tertangkap inderaku, namun tangisku semakin meraung.
Ini sudah ketiga kalinya kami gagal, jika diperhitungkan seharusnya aku tengah mengandung anaknya, seharusnya aku hamil muda, namun lagi, embrio itu tidak berkembang, mati di waktu yang singkat.
Seorang perempuan mana yang tidak frustasi dengan semua ini? Menerima sebuah fakta bahwa suaminya baik-baik saja, dan dia yang tidak beres di sini. Tekanan mental yang selalu aku rasakan. Teman, keluarga bahkan orang tua, seakan selalu menuntut itu dan semakin menjadikanku sebuah kegagalan.
Pada titik paling rendah, sering kali telontarkan kalimat-kalimat kepadanya,
"Bagaimana jika kau mencari wanita lain yang bisa mengandung anakmu?"
"Tinggalkanlah aku wanita cacat yang tak bisa memberikanmu keturunan."
"Carilah seseorang selain aku."
Namun dari semua rasa keputusasaanku, akan selalu berujung sama, menangis di dalam dekapan hangat nan menenangkan, seraya ia berucap lirih,
"Ayo kita berusaha bersama."
"Hanya kamu takdirku."
"Aku akan tinggal di sini, di sisimu, bukan di sisi wanita lain. Kamu paling istimewa."
"Ayo kita berusaha lagi."
Lagi dan lagi kami mencoba, dan berakhir sama. Aku menghadapi lagi sebuah kegagalan. Namun satu yang lambat laun kusadari. Ia pun selalu sama. Rasa cintanya padaku selalu sama, bahkan lebih. Tak ada perbedaan yang kudapati darinya setelah semua fakta menyakitkan ini terkuak, kecuali semakin besar dan tulus kasih sayangnya kepadaku. Aku sungguh merasakanya. Ia lah yang paling menerima semua takdir ini. Harus segera kusadari dan kuakui. Bukan sebuah ketidakadilan yang sedang aku dapati.
Ya, mungkin Tuhan tidak menitipkan malaikat kecil dari rahimku, tapi Tuhan mengirimkan pria ini sebagai penyempurna jiwaku.