Cerita
Gadis Pemeluk Luka
Gadis Pemeluk Luka

"Gadis Pemeluk Luka" adalah sebuah cerita yang menyentuh hati dan mengangkat isu yang seringkali dihadapi oleh remaja. Cerita ini memberikan banyak pelajaran berharga, seperti pentingnya kekuatan mental dan ketahanan dalam menghadapi kehidupan.

Aku biasa dipanggil dengan panggilan Zara. Aku adalah seorang anak broken home, yang sejak masih kecil ayah dan ibuku sudah berpisah. Perpisahan kedua orang tuaku membuatku harus bisa menerima semua keaadaan sekarang. Tak jarang aku merasa sedih dan bertanya mengapa harus aku yang mengalami ini.



Sampai sekarang aku tinggal bersama ayah dan ibu sambungku yang biasa aku panggil dengan sebutan mamah. Lalu ibuku? Aku tidak pernah bertemu dengan beliau, hanya tahu wajahnya saja aku sudah senang. Aku pun tidak pernah merasakan bagaimana kasih sayang seorang ibu kandung dan pelukan hangatnya. Memeluk dan pelukan hangatnya adalah impianku sejak lama, ingin sekali aku bertemu dengannya. Tetapi, aku harus menghormati dan menghargai ayah yang sudah merawatku sejak kecil sampai saat ini aku sudah beranjak dewasa. Ayah tidak mengizinkanku untuk menemuinya, kecuali ibuku yang menemuiku. Walaupun begitu aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, yaitu kasih sayang dari seorang ibu sambung. Ibu sambungku sudah ku anggap sebagai ibuku sendiri. Ia merawatku dan menyayangiku layaknya pada anak sendiri. Begitupun dengan ibu kandungku, meskipun aku belum pernah merasakan kasih sayangnya tapi aku yakin ibu kandungku juga pasti menyayangiku.



Katanya, pelukan seorang ibu sambung tidak sehangat pelukan seorang ibu kandung dan katanya sayangnya seorang ibu sambung tidak sama seperti sayangnya seorang ibu kandung. Tapi tak apa, aku bersyukur masih bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, walaupun bukan ibuku sendiri. Walaupun terkadang aku selalu merasa bahwa ia tidak menyayangiku. Tapi aku masih percaya bahwa ia menyayangiku, mungkin aku yang tidak mengerti bagaimana cara dia menyayangiku.



***



Dulu kami tinggal di Jakarta, karena ayahku bekerja di sana. Kami sangat bahagia sekali tinggal bersama, tapi kebahagiaan itu menjadi sirna setelah adanya permasalahan dalam rumah tangga ayah dan ibu sambungku.



Ketika aku duduk di kelas 6 SD, semuanya berjalan baik-baik saja. Aku bahagia tinggal bersama ayah dan ibu sambungku. Mereka selalu membuat aku merasa nyaman dan bahagia, tetapi seiring berjalannya waktu semuanya menjadi berubah.



Perubahan itu dimulai ketika ayahku melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan ayah membuat sikap ibu sambungku berubah terhadapku. Ia terkadang mendiami ku tanpa aku tahu apa kesalahanku. Ketika aku pulang dari sekolah, mamah selalu saja cuek kepadaku. Hal itu membuat aku tidak nyaman, dan aku tidak berani untuk bercerita kepada ayah.



Suatu ketika, pada malam hari terjadi pertengkaran antara mamah dan ayah. Aku terbangun dari tidurku dan menangis karena melihat pertengkaran mereka, aku tidak berani bangun dari tempat tidurku. Setelah itu, ayah membereskan bajunya dan ternyata mamah mengusir ayah untuk pergi dari rumah.



"Zara, bereskan bajumu juga dan ikut dengan ayahmu!" Ucap mamah padaku.



 Aku terkejut mendengar itu dan menangis tersedu-sedu. Lalu, aku bangun dari tempat tidurku dan pergi untuk memasukkan bajuku ke dalam tas.



"Zara, maafkan ayah ya nak." Ucap ayah padaku.



 Aku tidak memperdulikan ucapan ayah, aku hanya menangis sembari membereskan baju. Setelah itu, aku dan ayah pergi dari rumah tanpa mengucapkan kata apapun lagi. Aku dan ayah pergi ke rumah saudara ayah, di sana kami menginap satu malam. Karena keesokan harinya ayah sudah mendapatkan rumah kontrakan.



Setelah itu aku dan ayah tinggal di sebuah kontrakan. Ketika ayah kerja, ia menitipkan aku pada temannya. Teman ayah mempunyai anak perempuan yang usianya berada di bawah aku, namanya Dinda. Kami pun berkenalan dan bermain bersama setiap harinya.



            Lalu, tidak tahu bagaimana ceritanya ayah dan mamah sudah berdamai lagi, setelah satu minggu aku dan ayah tinggal berdua, mamah menelepon ayah dan katanya ingin berbicara denganku. Awalnya aku ragu dan tidak mau berbicara dengan mamah, tapi setelah berpikir lagi dan ayah membujuk aku, aku pun mau berbicara dengan mamah.



            “Hallo Zara, apa kabar nak? Zara masih marah sama mamah?” Tanya mamah dalam sambungan telepon. Aku terdiam sebentar, bingung harus menjawab apa.



            “Nggak mah.” Jawabku singkat.



            “Tinggal lagi sama mamah mau ya?”



Aku bingung lagi tidak tahu harus menjawab apa. Karena bingung, aku mengembalikan kembali handphone ayah. Ayah pun tidak berbicara apa-apa lagi, aku pun meminta izin akan bermain ke rumah Dinda.



***



Setelah obrolan mamah dan aku hari itu, ayah mengajakku untuk tinggal kembali bersama mamah. Aku pun tidak banyak protes, hanya mengikuti ayah saja.



             Kami berkumpul kembali, kehidupan pun kembali seperti biasa. Tapi tidak dengan mamah, ia masih sama selalu mendiami ku tanpa aku tahu apa kesalahanku. Setiap aku pulang dari sekolah, mamah jarang sekali menyambutku dan bertanya bagaimana di sekolah. Hal itu sangat membuatku tidak nyaman, dan membuat aku merasa takut. Setiap harinya ketika aku pulang dari sekolah dan sudah dekat dengan rumah aku selalu merasa ketakutan untuk masuk ke dalam rumah.



Aku senang jika di rumah sedang ada ayah. Karena mamah akan bersikap baik dan tidak mendiami aku secara tiba-tiba. Tapi, jika keesokan harinya ayah berangkat lagi bekerja aku kembali merasa ketakutan.



Setiap kali mamah bersikap seperti itu kepadaku, ingin rasanya aku bertemu dengan ibu kandungku. Pernah saat itu, ibu kandungku menghubungi secara diam-diam dan ketahuan oleh ayah dan mamah.



“Jangan berhubungan lagi dengan dia!” Ucap mamah.



“Jangan berkomunikasi diam-diam atau kamu pergi dari rumah!” ucap ayah.



Sakit rasanya saat mengingat ucapan mereka kala itu. Ingin rasanya memberontak, tapi lidah ini kelu untuk berucap. Aku tidak bisa melawan mereka, mau bagaimanapun aku selalu berpikir aku harus mematuhi mereka karena mereka orang tua ku yang sudah merawatku. Di sisi lain aku juga selalu merindukan ibu kandungku.



***



            Singkat cerita setelah aku lulus dari SD dan SMP, orang tuaku memutuskan untuk pindah ke Bandung. Aku dan mamah tinggal di Bandung, kecuali ayah karena ia harus tetap bekerja di Jakarta.



            Setelah kesepakatan bersama, aku dan mamah pun tinggal di Bandung lalu aku melanjutkan sekolah SMA di sana. Aku senang tinggal di sana karena akan berkumpul dengan keluarga lainnya, yaitu keluarga dari ayah dan mamah.



            Sekolah pun mulai masuk kembali tahun ajaran baru, aku memiliki teman-teman baru. Di sana aku berkenalan dengan mereka, aku pun memiliki sahabat baru. Mereka bernama Syifa, Sania, dan Wina, mereka masuk dalam kehidupanku. Sahabat baruku, selalu ada untukku dan selalu menemani dikala aku senang atau sedih. Aku merasa beruntung bisa dipertemukan dengan mereka, ketika aku sedang ada masalah, mereka selalu setia untuk mendengarkanku. Aku hanya bisa menjadi aku ketika sedang bersama mereka.



            Aku dan ketiga sahabatku bisa dibilang selalu menempel seperti perangko. Karena kami selalu bersama-sama, bermain bersama, mengerjakan tugas bersama, jajan bersama dan lain sebagainya.



            “Jajan seblak yuk besok!” Ucap salah satu dari kami.



Seblak adalah makanan favorik kami berempat, hampir setiap hari aku dan ketiga sahabatku selalu membeli makanan itu. Tidak ada kata bosan untuk aku dan ketiga sahabatku untuk membeli seblak.



***



Sama seperti dulu-dulu, di dalam rumah aku selalu memasang topeng kepalsuan. Di dalam rumah aku tidak bisa menjadi diri aku sendiri, aku selalu menampilkan wajah keceriaan. Padahal di dalamnya, aku sangat rapuh. Banyak luka yang aku pendam sendirian dan aku hanya bisa mengadu pada Tuhan. Aku selalu meminta pada Tuhan untuk selalu memberikan aku kekuatan dan kesabaran yang lebih, karena aku hanya manusia biasa yang tidak sekuat dan sesabar itu. Aku selalu merasa lelah dan selalu bertanya kenapa harus aku yang mengalami takdir ini.



Aku tidak tahu kenapa semenjak permasalahan rumah tangganya dengan ayahku, ibu sambungku menjadi berubah padaku. Hampir setiap harinya ada saja perkataannya yang membuat air mataku lolos mengalir keluar.



Aku selalu ingin melakukan yang terbaik untuk mamah, tapi ia tidak pernah mengapresiasi itu. Aku sadar, aku bukan anak kandungnya. Tapi, aku juga seorang anak kecil yang selalu ingin mendapatkan perhatian dari seorang ibu. Dia memang memperlakukanku dengan baik, selalu menyiapkan makan untuk aku, mencucikan pakaianku, dan memberikan segalanya untukku. Pertanyaan yang selalu ada dalam benak pikiranku hanya satu, mengapa ia terkadang bersikap seolah tak menyayangiku.



Setiap paginya ketika aku akan pergi berangkat ke sekolah, aku selalu membantu mamah terlebih dahulu. Aku melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, mencuci piring, dan membereskan tempat tidurku. Tapi mamah jarang menghargai atas apa yang telah aku lakukan, itu membuatku sangat sedih atas sikapnya.



“Kamu membereskan apa memangnya? Lantai mana yang kamu sapu? Piring mana yang kamu cuci? Semuanya masih saja kotor!” Ucap mamah.



Ucapan itu selalu aku ingat dengan lekat di kepalaku. Padahal aku sudah merasa melakukan yang terbaik untuknya. Mungkin memang aku kurang rapi atau bersih dalam beres-beres rumah, tadi setidaknya aku ingin dihargai karena aku juga seorang manusia.



Aku hanya bisa bercerita pada ketiga sahabatku, karena mereka yang selalu setia mendengarkan keluh kesahku.



“Aku cape!” Ucapku sambil menangis.



“Zara, ada kita di sini. Kamu hebat, kamu kuat banget udah sejauh ini menghadapi permasalahan kamu. Kita? Kita belum tentu bisa sekuat kamu Zar.” Ucap mereka.



***



Sampai aku sudah duduk di kelas 12, mamah masih saja seperti itu. Pada saat itu mamah sedang mengandung dan aku berniat untuk membantu pekerjaan rumahnya. Ketika mamah sedang beristirahat di kamar, aku mencuci semua baju yang ada di dalam mesin cuci. Setelah semua baju itu di cuci, aku melanjutkan untuk menjemur baju-baju itu. Ketika aku sedang menjemur, mamah datang dan bertanya “Kamu nyuci?”



“Iya mah.” Jawabku.



“Siapa yang menyuruh kamu untuk mencuci? Mamah juga masih bisa melakukan ini!” bentaknya padaku.



Aku diam sebentar dan entah keberanian dari mana, tiba-tiba aku melawannya.



“Mau mamah apa? Aku diam salah, aku kerja membereskan semuanya juga salah hah!” Ucapku dengan nada agak tinggi.



“Berani kamu hah? Karena ada ayah kamu? Kamu berani ngomong itu? Iya?” ucapnya padaku tak kalah tinggi nada suaranya.



Memang saat itu sedang ada ayah di rumah, tapi bukan karena ada ayah aku jadi berani berbicara seperti itu. Aku hanya sudah tidak kuat memendam luka ini.



Ayah pun menghampiri kami yang sedang berdebat saat itu.



“Ada apa ini?” tanyanya.



“Aku mencuci baju, ayah” jawabku.



“Mah, kan Zara hanya mencuci baju terus apa masalahnya? Tanya ayah pada mamah.



“Diam kamu, jangan ikut campur!” ucap mamah membentak ayah.



Aku hanya menangis, tidak tahu harus bicara apalagi. Karena menurut aku, mamah selalu tidak ingin kalah. Jadi, aku membela diriku sendiri pun tidak bisa dan lebih baik aku yang mengalah.



***



            Setelah kejadian itu dan ayah kembali ke Jakarta untuk bekerja, mamah benar-benar cuek kepadaku. Aku yang sudah tidak tahan, memilih untuk pergi ke rumah nenek dari ayahku. Setelah pulang sekolah, aku tidak menemukan siapapun di rumah. Tanpa memperdulikan itu, aku langsung saja memasukkan baju-bajuku ke dalam tas dan langsung pergi dari rumah.



            Setelah sampai di rumah nenek dan nenek sudah tahu semua yang aku alami, aku langsung masuk saja ke kamarnya. Selain bercerita ke sahabat, aku juga bercerita kepada nenek karena aku tidak kuat memendam semua luka ini sendirian. Nenek selalu mengatakan “sabar, sabar, dan sabar” kepadaku, padahal dalam pikirku kurang sabar apa aku selama ini. Aku memendam semua luka ini sendirian. Aku berusaha untuk menerima semuanya, dan menerima keaadaan yang sebenarnya tidak ingin ada di posisi seperti ini.



Di kamar nenek, aku menangis tersedu-sedu, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Saat aku sedang menangis, ponselku berdering. Setelah aku lihat ternyata yang menelepon adalah ayahku, teleponnya tidak aku angkat karena percuma saja ayah pasti tetap menyalahkanku. Ayah terus saja meneleponku, dengan terpaksa aku mengangkat teleponnya.



            “Zara di mana? Pulang dan minta maaf ke mamah. Kamu mikir gak mamah kamu itu udah rawat kamu selama ini hah!” ucap ayah.



Ayah selalu saja begitu, selalu menyuruhku untuk meminta maaf pada mamah. Kalau mamah tidak seperti itu, aku juga tidak akan melakukan hal seperti ini. Aku langsung mematikan ponselku dan melemparnya ke sembarang arah. Aku pergi untuk menghampiri ibu sambungku itu.



            “Ngomong apa mamah ke ayah, hah!” Ucapku membentak padanya.



            “Diam kamu atau mau mamah tampar hah!” Ucapnya padaku.



            “Mah, biarin Zara bicara dulu!” ucap ayah dalam telepon.



Aku tidak tahu kalau ayah sedang teleponan dengan mamah, untunglah kataku dalam hati agar ayah tahu mamah itu seperti apa.



Tak lama kemudian ketika aku sedang menangis, nenek datang.



“Mah, padahal aku hanya mau menyuruhnya untuk makan. Dari kemarin Zara belum makan.” Ucap mamah pada nenek.



Padahal ia tadi membentak-bentakku, tapi setelah nenek datang nada suaranya menjadi halus dan lembut. Aku sudah muak dengan semua drama ini.



“Udah ya Zara nangisnya, sekarang minta maaf ke mamah kamu ya!” ucap nenek.



Karena aku sudah malas untuk berdebat lagi aku menuruti semua orang yang menyuruhku untuk meminta maaf pada ibu sambungku itu, aku juga tidak pernah menyimpan dendam padanya, hanya saja aku kecewa pada mamah.



“Kemana mamah yang dulu? Mamah yang selalu menyayangi aku, mamah yang selalu ada untuk aku. Aku rindu semua itu, Mamah.”



**SELESAI**






Annisa Al Dhira Jahra

Annisa Al Dhira Jahra adalah anggota komunitas Literasiliwangi yang bergabung sejak Apr 2025



0 Komentar





Cerita Lainnya