Pendidikan
Ada Yang Baru, Nih, Dik! : Reborn Dengan Nama Baru, Akankah TKA Lebih Friendly Dari UN?
Ada Yang Baru, Nih, Dik! : Reborn Dengan Nama Baru, Akankah TKA Lebih Friendly Dari UN?

Sebagai calon pendidik, saya percaya bahwa setiap kebijakan pendidikan tidak cukup hanya baik dalam ide, tapi juga harus kuat dalam eksekusi dan berpihak pada realitas di lapangan.

Di tengah ramainya dinamika kebijakan baru pada masa pemerintahan baru, pemerintah melalui Kemendikdasmen berencana menghidupkan kembali sistem evaluasi nasional yang selama ini sempat dihentikan, yakni Ujian Nasional (UN), namun dibalut dalam format dan sebutan baru menjadi “Tes Kemampuan Akademik (TKA)”. Perubahan ini bukan sekadar pergantian nama, tapi juga membawa pendekatan yang berbeda dalam pelaksanaan dan tujuan akhirnya.

TKA hadir sebagai solusi yang diberikan oleh Kemendikdasmen dalam memberikan ukuran kompetensi akademik yang lebih adil dan merata di tengah keragaman standar nilai rapor sekolah. Solusi ini didukung oleh jajaran PGRI bahwa ujian kompetensi siswa taraf nasional harus dilaksanakan kembali untuk mendapatkan nilai standar minimum siswa yang harus dicapai, namun dengan catatan harus dibersamai dengan perubahan konsep. Ketua PB PGRI, Unifah Rasyidin, ia mengatakan “UN ini diperlukan karena membantu persiapan siswa kejenjang berikutnya, namun konsep hingga teknis pelaksanaannya harus dikaji ulang oleh para ahli yang melibatkan tim independen di luar Kemendikdasmen” (Suara Surabaya Media, 4/11/2024).

Sejalan dengan itu, Ketua Mejelis Rektor PTN Indonesia, Eduart, berpandangan bahwa dengan hanya mengandalkan nilai rapor yang selama ini ketuntasannya ditentukan oleh pihak sekolah, akan ada ketidakadilan dalam rumus penilian yang dilakukan PTN. PTN harus cermat dalam mengonversikan nilai agar berstandar nasional sehingga PTN membutuhkan indikator validasi nilai rapor, dan tahap TKA bisa menjadi indikator yang dibutuhkan tersebut. Hal tersebut bertujuan agar terlahir penilaian yang adil dan obyektif dalam memutusakan kelulusan peserta jalur prestasi guna mendapatkan calon mahasiswa baru potensial (Kompas, 25/3/25).

Selain itu, perubahan ini juga menjadi respon atas tantangan dalam dunia pendidikan, seperti ketimpangan kualitas antar sekolah dan kebutuhan akan sistem seleksi masuk perguruan tinggi yang lebih valid. TKA sendiri akan mulai dilaksanakan pada November 2025, menyasar siswa SMA/SMK/sederajat, dan meliputi mata pelajaran inti seperti Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, serta satu mata pelajaran pilihan sesuai minat jurusan.

Sebagai mahasiswa calon pendidik, saya melihat kebijakan ini akan membawa dampak yang cukup besar?—?bukan hanya bagi siswa, tapi juga bagi guru dan sekolah. Apakah perubahan ini benar-benar akan menjawab permasalahan lama, atau justru membawa tantangan baru yang tak kalah rumit? Mari kita bahas lebih lanjut.

Perbedaan Format Baru dengan yang Lama

Tes Kemampuan Akademik (TKA) membawa beberapa perbedaan yang signifikan di antara Asemen Nasional (AN) dan Ujian Nasional (UN) yang digunakan beberapa tahun ke belakang, baik dari segi tujuan, pelaksanaan, maupun peruntukannya. Jika dibandingkan dengan Asesmen Nasional (AN) yang terakhir berlaku, siswa tidak dihadapkan pada Ujian atau Tes akhir yang menentukan kelulusan sekolah atau syarat seleksi masuk PTN selayaknya Ujian Nasional (UN) terdahulu. Asesmen Nasional diberlakukan melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 17 Tahun 2021. Peraturan ini mencabut Permendikbud Nomor 43 Tahun 2019 yang sebelumnya mengatur penyelenggaraan Ujian Nasional. Permendikbudristek Nomor 17 Tahun 2021 menetapkan bahwa Asesmen Nasional digunakan untuk mengevaluasi mutu pendidikan secara nasional.

Jika dianalogikan, Asesmen Nasional itu “cek kesehatan” untuk sekolah. Jadi bukan untuk melihat siswa mana yang nilainya tinggi/rendah, tapi untuk tahu seberapa sehat dan bagusnya sekolah mengajar para murid. Cek ini dilakukan melalui tiga instrumen, yakni AKM (Asesmen Kompetensi Minimum), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. Karena sekali lagi, Asesmen Nasional dibuat bukan untuk meluluskan siswa dari sekolah atau menjadi syarat masuk perguruan tinggi, namun sekolahlah yang membuat keputusan apakah anak tersebut dapat lulus atau tidak.

Sedangkan pelaksanaan Ujian Nasional pada saat itu menjadi momok bagi siswa karena dijadikan penentu kelulusan. Ujian Nasional menimbulkan rasa cemas pada siswa. Kecemasan merupakan kondisi mental individu yang terjadi karena adanya tantangan, tekanan, dan tuntutan belajar, orang tua mulai memaksa anak untuk mengikuti bimbingan belajar, dan guru-guru memberikan banyak materi serta latihan-latihan soal yang akan diujikan. Namun, saat Ujian Nasional itu dihapuskan ternyata cukup berdampak pada motivasi belajar siswa yang menurun. Turunnya motivasi belajar terjadi karena siswa merasa sudah tidak memiliki tantangan lagi.

Pada teknisnya, Ujian Nasional memiliki tantangan yang berulang, yakni sering terjadinya kebocoran soal dan kunci jawaban. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Ujian Nasional akhirnya dilaksanakan berbasis komputer, sehingga dapat mengurangi kebocoran soal dan jawabannya. Hanya saja keputusan itu pun melahirkan lagi masalah, fakta di lapangan banyak sekolah yang belum terfasilitasi sarana prasarana dalam melaksanakan UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer).

Berbeda dari kedua itu,TKA bersifat tidak wajib dan tidak menjadi syarat kelulusan, melainkan menjadi alat ukur tambahan untuk seleksi masuk perguruan tinggi melalui jalur prestasi. Siswa diberikan opsi untuk mengikuti atau tidak Test Kemampuan Akademik itu, maka diharapkan tidak menimbulkan rasa cemas yang berlebih. Frase “Ujian Nasional” digantikan menjadi frase “Tes Kemampuan Akadamik” pun agar siswa tidak terbebani dengan kata “Ujian”, begitu ujar Abdul Mut’i. Belum ada informasi lanjut apakah TKA akan berbasiskan dengan teknologi digital atau tidak.

Informasi yang ada pada saat ini mengenai format TKA, bahwa TKA akan mencakup empat komponen, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, dan satu mata pelajaran pilihan sesuai jurusan yang diminati oleh siswa. Jurusan IPA dapat memilih antara Biologi, Fisika, atau Kimia, sedangkan IPS antara Ekonomi, Geografi, Sosiologi, atau Sejarah. Pemilihan mata Pelajaran yang diminati ini masih menjadi diskusi antara Kemendikdasmen dan Kemendiktisaintek, agar peserta memilih mata pelajaran yang memang nantinya berkaitan dengan jurusan yang akan siswa ambil. Ini merupakan bentuk penyesuaian terhadap sistem penjurusan SMA yang akan kembali diterapkan mulai tahun ajaran 2025/2026. Pelaksanaan TKA dijadwalkan kepada siswa kelas 12 di November 2025 mendatang.

Tantangan dalam Pelaksanaan

Meski secara konsep terlihat progresif, pelaksanaan TKA bukan tanpa tantangan. Kemungkinan terbesar, berbagai hambatan akan terjadi pada kesiapan sekolah?—?baik dari sisi infrastruktur, kesiapan guru, hingga adaptasi kurikulum yang relevan. Tidak semua sekolah memiliki sarana teknologi dan sumber daya yang memadai untuk mendukung sistem evaluasi nasional semacam ini.

Sebagai calon pendidik, saya melihat bahwa niat baik TKA ini cukup jelas?—?salah satunya untuk memastikan kembali kevalidan nilai rapor siswa yang selama ini sangat bergantung pada subjektivitas internal sekolah. Namun, saya juga memprediksi bahwa tidak semua siswa akan langsung menerima sistem ini. Sebagian besar siswa mungkin bertanya-tanya, “Bukankah nilai rapor dari guru selama ini sudah cukup?” atau “Mengapa harus ada tes tambahan lagi?” Reaksi ini wajar, terutama bagi mereka yang telah terbiasa mengandalkan nilai rapor sebagai syarat utama SNBP. Dari sudut pandang mereka, nilai rapor yang diberikan guru seharusnya sudah cukup adil dan layak untuk dipakai seleksi masuk perguruan tinggi, karena selama ini sistem tersebut telah berjalan. Tambahan ujian semacam ini bisa saja dianggap sebagai beban baru, apalagi kalau tidak dikomunikasikan dengan pendekatan yang empatik dan terbuka.

Dengan TKA yang bertaraf nasional, guru bertanggung jawab tidak hanya menyampaikan materi hingga tuntas, tapi juga memastikan kompetensi siswa teruji hingga ke level berpikir tinggi dan memberikan motivasi-motivasi belajar. Guru perlu mendapat dukungan penuh dalam menyampaikan perubahan ini kepada siswa dan orang tua dengan penuh perhatian agar tidak menimbulkan miskomunikasi atau kecemasan berlebihan. Termasuk juga, fungsi bimbingan konseling perlu ditingkatkan, agar mampu memberi motivasi kepada siswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan memilih jurusan yang sesuai minat dan bakatnya.

Strategi Efektif untuk Pelaksanaan

Agar pelaksanaan TKA benar-benar efektif, perlu strategi implementasi yang menyeluruh. Salah satu pendekatan yang relevan untuk mendukung hal ini adalah pendekatan adaptif. Pendekatan adaptif dalam konteks pendidikan adalah metode atau model pembelajaran yang menyesuaikan materi, cara mengajar, dan pengalaman belajar berdasarkan kebutuhan, kemampuan, dan gaya belajar siswa. Pendekatan ini memungkinkan sekolah untuk menyesuaikan metode pembelajaran, materi ajar, serta sarana belajar berdasarkan kemampuan, kebutuhan, dan gaya belajar masing-masing siswa.

Dalam konteks TKA, di mana siswa dihadapkan pada pengujian akademik yang bersifat selektif dan berskala nasional, pendekatan ini menjadi penting untuk memastikan semua siswa mendapat peluang belajar yang setara, sesuai dengan kapasitas mereka. Misalnya, guru dapat memberikan variasi soal atau media pembelajaran yang fleksibel, memperpanjang waktu latihan bagi siswa yang membutuhkan, atau menggunakan strategi pembelajaran diferensiasi berbasis minat dan kemampuan siswa. Dengan begitu, proses persiapan menuju TKA tidak hanya bersifat seragam, melainkan justru mampu memberdayakan siswa secara personal.

Selain itu, pendekatan ini juga mendorong guru untuk lebih responsif terhadap perkembangan siswa, serta menjadikan pembelajaran lebih bermakna. Maka dari itu, integrasi pendekatan adaptif dalam pelaksanaan TKA bukan hanya strategis, tetapi juga menjadi kunci untuk menciptakan sistem asesmen yang adil dan berkeadilan.

Penerapan pendekatan adaptif tentu tidak tanpa tantangan. Salah satu tantangan utamanya adalah keterbatasan waktu dan tenaga guru dalam melakukan pemetaan karakteristik dan kebutuhan tiap siswa secara menyeluruh. Dibutuhkan pelatihan khusus agar guru memiliki kapasitas merancang strategi pembelajaran yang fleksibel dan efektif. Selain itu, infrastruktur yang mendukung seperti perangkat teknologi, akses internet yang stabil, serta sumber belajar yang variatif masih menjadi kendala di banyak daerah.

Beban administratif dan kurikulum yang kaku juga kerap membatasi ruang gerak guru dalam melakukan penyesuaian. Oleh karena itu, agar pendekatan adaptif benar-benar berdampak dalam pelaksanaan TKA, perlu ada dukungan sistemik?—?baik dari sisi kebijakan, pelatihan guru, penyediaan sarana, maupun pemahaman yang baik dari semua pihak terhadap esensi pendekatan ini. Pembuat kebijakan harus hadir dan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam proses pengimplementasian kebijakan barunya secara cepat dan tepat.

Bagi siswa, meskipun TKA bersifat tidak wajib, TKA akan menjadi seperti ujian ‘wajib secara tidak langsung’ bagi mereka yang menargetkan masuk perguruan tinggi negeri. Maka, tidak boleh ada ketimpangan akses atau informasi, apalagi dalam persiapan.

Terdapat hal-hal yang menurut saya masih membingungkan dalam penerapan TKA. Setelah saya mengetahui latar belakang keputusan adanya TKA, apakah TKA masih relevan untuk nantinya diterapkan di jenjang SD dan SMP? Untuk jenjang SMA/SMK, kebijakan ini masih bisa ditautkan dengan kebutuhan seleksi masuk PTN. Tapi untuk SD dan SMP, urgensinya perlu dikaji lebih dalam. Jangan sampai niat penguatan sistem evaluasi justru mengulang pola Ujian Nasional dulu yang dinilai menekan tanpa relevansi yang kuat terhadap kelanjutan pendidikan siswa. Jika tidak hati-hati, semangat perubahan malah membawa kita kembali pada sistem lama yang hanya diganti kemasan.

Harapan Kini

Perubahan format evaluasi nasional melalui Tes Kemampuan Akademik (TKA) pada dasarnya merupakan langkah pembaruan yang patut diapresiasi. TKA hadir sebagai jawaban atas kebutuhan asesmen yang lebih objektif dan berkeadilan, terutama untuk proses seleksi masuk perguruan tinggi. Namun, efektivitasnya akan sangat bergantung pada kesiapan semua pihak yang terlibat?—?sekolah, guru, siswa, orang tua, dan tentu saja pemerintah sebagai pemangku kebijakan.

Sebagai calon pendidik, saya percaya bahwa setiap kebijakan pendidikan tidak cukup hanya baik dalam ide, tapi juga harus kuat dalam eksekusi dan berpihak pada realitas di lapangan. Jika TKA benar-benar ingin menjadi alat ukur yang adil, maka harus disertai dengan infrastruktur yang merata, komunikasi yang terbuka, serta pendampingan yang menyentuh sisi manusiawi dari siswa. Sebelum melangkah lebih jauh menerapkannya ke jenjang SD dan SMP, alangkah baiknya dilakukan kajian yang lebih mendalam dan partisipatif. Jangan sampai semangat perubahan yang baik ini justru menyeret kita kembali ke tekanan sistem lama yang hanya berganti nama.





Amira Halimatu Sadiyah

Sang pengembara bumi yang atas izin tuhannya diperjalankan untuk mengarungi luasnya lautan hikmah.



0 Komentar





Pendidikan Lainnya