Tulisan yang biasanya terpampang di pintu minimarket maupun ruang publik mungkin “Parkir Gratis”. Tetapi, begitu kita mengeluarkan motor, barangkali si juru parkir akan tetap meminta uang. Biasanya Rp2 ribu, tapi bisa saja lebih mahal di kawasan wisata. Kita terkadang dimintai uang parkir tanpa diberikan karcis yang menunjukan seberapa banyak biaya retribusi yang harus dibayarkan. Pokoknya bayar. Titik. Selain itu, meski harus membayar, ternyata kerap ada papan atau secarik kertas yang bertuliskan “Barang Hilang Tidak Menjadi Tanggung Jawab Kami”
Setelah membayar, peluit juru parkir akan berbunyi nyaring sembari mengarahkan kendaraan dengan memotong jalan pengendara lain, seringkali secara mendadak. Mereka sudah ibarat penguasa di daerah itu.
Kita akan membahas lebih dalam soal parkir liar ini dengan studi kasus Bandung, salah satu kota di Jawa Barat yang banyak didatangi wisatawan.
Bandung, sebuah kota yang dikenal dengan kepadatan lalu lintasnya, sedang menghadapi masalah parkir liar yang semakin parah. Parkir liar di Bandung telah menjadi pemandangan yang biasa, terutama di daerah strategis seperti pusat perbelanjaan dan kawasan wisata. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan lahan publik atau ruang jalan sebagai tempat parkir, memungut biaya parkir dari pengendara tanpa izin resmi. Fenomena ini semakin berkembang karena minimnya lahan parkir resmi yang tersedia dan kurang pengawasan dari pihak berwenang. Ini menunjukan adanya kekosongan dalam sistem manajemen parkir kota yang seharusnya dapat memberikan solusi yang adil dan efisien.
Menurut laporan dari “BandungBergerak.id” pada tahun 2024, parkir liar di Bandung telah menjadi masalah yang signifikan. Laporan ini menyatakan bahwa parkir liar telah menjadi budaya di Bandung, dengan banyak pengemudi yang tidak memiliki tempat parkir yang resmi dan memilih untuk parkir di tempat-tempat yang tidak diizinkan. Hal ini yang menyebabkan kemacetan lalu lintas semakin parah, serta membahayakan pejalan kaki.
Masalah parkir liar ini telah menjadi subjek diskusi luas dan menarik perhatian masyarakat. Dalam beberapa artikel, Pemkot Bandung telah dituduh tidak mau disalahkan atas masalah parkir liar. Namun, Pemkot Bandung berpendapat bahwa parkir liar bukan hanya masalah pemerintah, tapi juga masalah masyarakat yang harus diatasi dengan cara memahami rambu lalu lintas dan memilih lokasi parkir yang resmi.
Pemkot Bandung telah menegaskan bahwa mereka akan menindak tegas parkir liar di Bandung. Mereka mengintruksikan Dinas Perhubungan untuk melakukan identifikasi dan segera melakukan penanganan.
Penelitian yang dilakukan oleh Rizal Septiyani Ashari menunjukkan bahwa Kota Bandung menempati posisi kota dengan jumlah kendaraan bermotor terbanyak kedua di Jawa Barat setelah Kota Bogor. Hal ini menunjukkan besarnya potensi kepadatan lalu lintas dan parkir liar di kota Bandung.
Parkir liar dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas, gangguan lingkungan, bahkan dapat membahayakan keselamatan pengemudi. Dengan penegakan hukum yang tegas, peningkatan fasilitas parkir resmi, edukasi masyarakat, dan kolaborasi dengan sektor swasta, semoga masalah parkir liar ini bisa diatasi. Melalui kerjasama dan komitmen semua pihak, Bandung bisa kembali menjadi kota yang tertib dan nyaman bagi seluruh warganya.