Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema merupakan “struktur dalam” dari sebuah karya sastra. Tema juga berhubungan dengan sudut pandang atau point of view; sudut dari mana pengarang memandang dunia ini, apakah dari segi bahagia, duka, mengejek, mencemooh, harapan, ataukah kehidupan ini sama sekali tidak bermakna.
Dalam drama, tema akan dikebangkan dengan melalui alur dramatik dalam plot1 melalui tokoh-tokoh protagonis dan antagonis dengan perwatakan yang memungkinkan konflik dan diformulasikan dalam dialog. Dialog2 tersebut mengejawantahkan tema dari lakon/naskah. Semakin kuat, lengkap, dan mendalam pengalaman jiwa penganrangnya akan semakin kuat tema yang dikemukakan.
Berikut beberapa aliran yang dapat mendasari suatu tema:
Aliran ini banyak menciptakan naskah-naskah yang mempunyai tema duka cerita seperti pada drama-drama pada zaman Yunani-Romawi. Naskahnya berwujud dialog panjang, menggunakan bentuk sajak berirama. Lakonnya bersifat statis dan sering diselingi dengan monolog. Laku dramatis dihambat dengan deklamasi (dalam pementasan).
Aliran ini berkembang pada akhir abad XVIII. Isi drmanya fantastis, seringkali tidak logis. Materi ceita bunuh-membunuh, teriakan-teriakan dalam gelap, korban pembunuhan yang hidup kembali, tokohnya bersifat sentimentil. Keindahan bahasa sangat dipentingkan dengan memperhatikan aspek komunikatif. Dalam penyutradraan, unsur-unsur visual sangat ditonjolkan, sedangkan dalam pementasan acting-nya lebih bernafsu, bombastis dengan mimik yang berlebih-lebihan (sebagai ilutrasi/contoh: model ketoprak dan wayang orang jawa)
Aliran ini melukiskan semua kejadian apa adanya, bukan berlebihan dan bukan pula dengan lambang. Drama yang realistis diharapkan mampu mengungkapkan problem-problem masyarakat atau kehidupan yang terjadi pada suatu masa. Ada dua macam aliran realisme, yaitu: 1) realis sosial; dan 2) realis psikologis.
Realisme Sosial menggambarkan problem sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan psikologis pelaku. Titik berat dalam drama itu, adalah problem sosial, seperti: kemeralatan, kepincangan sosial, ketidakaslian, peninadasan, keluarga retak, dan sebagainya. Acting-nya wajar, bahasanya sederhana, bahasa seharo-hari pula. Drama-drama seperti drama W.S. Rendra, Arifin C. Noer, dan N. Riantiarno menganut aliran Realis Sosial (yang isinya kritik atau prootes sosial).
Realisme Psikologis menekankan pada unsur kejiawaan secara apa adanya. Sedih, gembira, bahagia, kecewa, semua dilukiskan secara wajar. Dialog dan acting-nya wajar, seperti potret kehidupan sehari-hari.
Ekspresionisme adalah seni menyatakan. Yang dipentaskan adalah Chaos atau kekosongan dalam psikologis. Aliran Ekspresionisme didasarkan pada perubahan sosial, seperti terjadinya revolusi industri di Jerman atau Inggris, atau Revolusi sperti di Rusia. Ciri-ciri dari Aliran Ekspresionisme adalah: pergantian pemain cepat, peggunaan pentas yang ekstrim, dan fragmen-fragmen disajikan secara filmis (meniru adegan film).
Aliran ini mengikuti filsafat Eksistensialisme di negara barat yang dipelopori oleh: Albert Camus, Sartre, Gabriel Marcel, Samuel Bechett, dan lainnya.
Sumber: Walyu, Herman J.. 2002. Drama Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta. Hanindita.