Meta Agesta Kalih Purwasih

Meta Agesta Kalih Purwasih


KENANGAN YANG TAK PERNAH TURUN
KENANGAN YANG TAK PERNAH TURUN

Tidak ada yang berubah dari taman hiburan tua di pinggir kota. Gerbang karatnya masih menyambut dengan bunyi berderit, lampu-lampunya berkedip lambat, dan wangi permen kapas menyusup lembut di antara aroma tanah dan rumput yang basah oleh hujan pagi tadi. Tapi bagi Nara, semuanya terasa asing—dan sekaligus menyakitkan familiar. Sudah delapan tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di tempat ini. Delapan tahun sejak hari itu—hari terakhir ia melihat Kakak satu satunya.

Tidak ada yang berubah dari taman hiburan tua di pinggir kota. Gerbang karatnya masih menyambut dengan bunyi berderit, lampu-lampunya berkedip lambat, dan wangi permen kapas menyusup lembut di antara aroma tanah dan rumput yang basah oleh hujan pagi tadi. Tapi bagi Nara, semuanya terasa asing—dan sekaligus menyakitkan familiar.

Sudah delapan tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di tempat ini. Delapan tahun sejak hari itu—hari terakhir ia melihat Kakak satu satunya.
Langkahnya pelan menyusuri jalur berkerikil, melewati kios-kios yang setengah kosong, melewati tawa anak-anak yang berlari mengejar balon, sampai matanya menangkap sosok megah yang berdiri diam di ujung taman: bianglala.

Bianglala tua itu masih berdiri tegak. Cat birunya memang mulai mengelupas, bangku-bangkunya berdecit saat bergerak, tapi dari kejauhan, ia tetap tampak agung. Seperti penjaga waktu yang enggan tumbang.

Mentari berdiri di bawahnya, mendongak dengan dada yang penuh kenangan. Bangku nomor tujuh masih ada, tergantung di antara langit dan bumi. Dulu, itu adalah bangku mereka. Setiap ulang tahun, Kak Ryan selalu mengajaknya duduk di sana, membawa dua cone es krim cokelat yang perlahan mencair sebelum habis.

Hari ini, ulang tahunnya ke-20, Mentari memutuskan kembali. Bukan untuk merayakan, tapi untuk mengenang.
“Naik, Kak?” tanya seorang petugas muda sambil tersenyum. Mentari mengangguk, membayar tiket, lalu menaiki bangku nomor tujuh sambil membawa dua cone es krim—satu untuknya, satu lagi diletakkan di bangku kosong di seberangnya.
Bianglala mulai bergerak, pelan.

Seperti tarian lambat yang mengangkat tubuhnya menjauh dari hiruk-pikuk dunia. Saat mencapai puncak, ia menatap kota yang mulai diliputi cahaya jingga senja. Di sana, di antara warna langit yang meleleh keemasan, Mentari kembali melihat bayangan Kak Ryan. Duduk, tertawa, bercerita tentang bintang-bintang yang katanya bisa mendengar harapan.

“Kau lihat bintang itu?” kata Kak Ryan dalam kenangan. “Itu tempat semua keinginan tinggal. Kalau kau berani jujur sama hatimu, mereka akan dengar.”

Waktu seakan berhenti. Angin senja menyentuh pipinya, lembut seperti tangan Ayah yang dulu sering mengusap rambutnya. Air mata mengalir diam-diam, tapi senyum tipis menghiasi wajahnya.

“Kak Ryan.” bisiknya lirih, “Ta rindu.”
Bianglala terus berputar, perlahan membawa Mentari turun kembali. Tapi hatinya tetap tergantung di atas sana, bersama bintang-bintang, bersama kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.

Ketika ia turun, cone es krim di bangku seberang telah mencair, meninggalkan noda manis di besi tua yang berkarat.

Tapi bagi Mentari, itu adalah bentuk kehadiran—sebuah cara sederhana untuk berkata, “Aku masih di sini.”
Sebelum pergi, Mentari menoleh sekali lagi ke arah bianglala.

Dan untuk pertama kalinya dalam delapan tahun, ia tersenyum… bukan karena kenangan menyakitkan, tapi karena ia tahu: cinta itu tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk—menjadi angin, menjadi bintang, menjadi bianglala yang terus berputar.

Dan kenangan itu… adalah kenangan yang tak pernah turun.