Mengatasi Quarter Life Crisis melalui Novel A Cup Of Tea
Mengatasi Quarter Life Crisis melalui Novel A Cup Of Tea

Mari menemukan sisi lain dari buku A Cup Of Tea karya seorang perempuan yang pernah ramai diperbincangkan bahkan hingga trending di Twitter karena opininya yang open-minded dan kritis.

A Cup Of Tea : Mencari untuk Menemukan 



A cup of tea merupakan buku kedua Gita Savitri Devi setelah buku pertamanya yang berjudul Rentang Kisah. Dari kedua judul buku yang telah ditulis keduanya memiliki isi atau perjalanan bertumbuhnya Gitasav. Menurut saya, Covernya memiliki nuansa yang cukup selaras dengan judul dari bukunya yaitu A cup of tea, bernuansa cokelat sama seperti Teh. Cukup simple karena hanya tediri dari judul dan nama penulis namun terlihat elegan. Saya suka perpaduan warna pada cover bukunya. 


Buku ini terdiri dari 13 bagian yaitu tentang misi pribadi : ingin keliling dunia, tentang keseimbangan, pertanyaan, perpisahan, perbedaan, menikah, mendengarkan, words cut deeper than knives, pursuit of happiness, hijau, let there be spaces, to discover oneself, refleksi akhir decade, dan yang paling saya suka yaitu setiap babnya diberikan design yang lucu dan elegan sama seperti covernya.


A cup of tea bisa dibilang membahas tentang proses perjalanan bertumbuhnya seorang Gitasav, lebih banyak menceritakan tentang perjuangan Gita saat bertemu orang baru, menghadapi quarter life crisis karena harus skeptis tentang kenyataan yang terjadi, mimpi atau tujuan yang harus diwujudkan, rencana hidup dan beberapa masalah lain yang ia hadapi hingga akhirnya dia menemukan kebahagiaan yang dia cari.


Karena Gitasav seorang influencer yang tentunya dikenal banyak orang, dia sering sekali mendapat komentar-komentar jahat dari netizen atau cyber bullying di Internet, entah mengomentari caranya berbicara, atau berkudung, bahkan sampai komentar-komentar yang menurut saya tidak sepatutnya manusia mengomentari seseorang sejahat itu. Gita menjelaskan tentang dampak dari cyber bullying tersebut. Seperti pesan gita di halaman 89 yaitu “padahal seharusnya kita adalah satu-satunya orang yang yang mengenal diri kita paling dalam. Harusnya kita hanya mengerti apa yang sebenanya kita rasakan. Harusnya kita nggak didikte oleh orang-orang asing apa yang harus kita lakukan terhadap diri sendiri.”


Selain itu, ada juga cerita tentang pernikahan dimana Gita mengemukakan pendapatnya tentang pernikahan. Dan yang paling saya suka yaitu saat perjalanan Gita mengunjungi berbagai Negara didunia, apa yang ia dapat saat mengunjungi Negara tersebut dan sejarahnya. Gita memang memiliki mimpi untuk berkeliling dunia karena tertarik dengan bahasa, culture atau budaya Negara yang ia kunjungi. Sampai akhirnya misi pribadi untuk bisa pergi berbagai Negara sebelum usia 30 tahun hampir terwujud karena saat ini Gita sudah 25 negara yang ia kunjungi. Menariknya Gita berpesan bahwa “mungkin saat ini kita ngga tau apa yang harus kita lakukan untuk mencapai cita-cita tersebut. Kita cuma ingin. Akan tetapi, kita harus selalu punya keyakinan bahwa kita pasti bisa meraihnya dikemudian hari. Percaya saja, bahwa ucapan adalah do’a". 


Menariknya lagi, di buku ini Gita menambahkan beberapa foto-foto yang estetik dan ciamik sehingga kita lebih tertarik, tidak hanya berimajinasi tapi disuguhkan fotonya langsung didalam buku sehingga tidak penasaran dan berharap semoga bisa keliling dunia untuk menadaburi keindahan bumi Allah. 


Ada beberapa kutipan yang saya sukai yaitu “Bahwa dengan traveling, kita bisa mendapatkan wawasan, ilmu baru dari orang yang kita temui, kapan saja, dan dimana pun. Dan berawal dari kita yang mendengarkan orang beserta kisahnya untuk mengerti tentang sebagian kecil dari dirinya yang kemudian bisa mengajarkan kita banyak hal untuk menjadi pengingat bahwa masih banyak yang kita tidak tau didunia ini” (hlm 76).


Selain itu, Gitasav juga banyak menceritakan tentang pengalamannya tentang pentingnya mencari keseimbangan antara kehidupan akademis dan pengembangan diri, membuat koneksi, dan memperluas pertemanan. Dan setiap tema yang diangkat pada buku ini selalu disisipkan cerita-cerita yang dialami Gita. Melalui buku ini juga kita jadi open minded tentang segala hal yang belum kita tahu.


Banyak pesan yang saya ambil dari buku-bukunya Gitasav, selalu bisa memotivasi saya untuk terus bisa berambisi agar apa yang saya ingin dan cita-citakan bisa saya wujudkan. Buku Gitasav juga selalu memberikan pelajaran bahwa semestinya dalam hidup kita tidak harus menggantungkan kebahagiaan pada orang lain. Selain itu, Gita berpesan untuk hiduplah menjadi seseorang yang objektif dan kritis terhdap diri sendiri dan sebaiknya memberi batasan pada ekspektasi supaya bisa memilih mana yang lebih nyaman dan esensial. Tetapi, ia menyadari bahwa setiap pribadi punya cara unik untuk menemukan diri mereka sendiri. 


Kelebihan buku A Cup Of Tea ialah bahasa yang digunakan juga mengalir begitu saja seperti kita sedang berkomunikasi langsung. Setiap perpindahan bab, penulis menceritakan isu tertentu yang membuat si pembaca ingin mengeksplor lebih dalam namun harus berubah bab dan berganti topic yang dibahasnya karena tidak ada daftar isi sehingga tidak memudahkan pembaca.


 


sumber : 


Devi, Gita Savitri.2020.A Cup Of Tea.Jakarta:Gagas Media