Yorensina Anip kalakmabin

Yorensina Anip kalakmabin


NATAL 2023 DITANAH RANTAU
NATAL 2023 DITANAH RANTAU

Cerita ini tentang seorang perantau muda yang merayakan Natal 2023 jauh dari keluarga. Dalam kesepian, ia menemukan makna Natal melalui kebersamaan dengan sesama perantau dan komunitas lokal, serta menemukan kehangatan baru di tanah rantau.


Natal 2023 di Tanah Rantau

Natal 2023 adalah salah satu momen yang paling berkesan dalam hidupku—bukan karena kemeriahannya, tetapi justru karena kesederhanaan dan kesendiriannya. Tahun itu adalah tahun pertamaku merantau jauh dari keluarga. Aku tinggal di kota kecil yang asing, menjalani pekerjaan baru, dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda dari kampung halamanku.Beberapa minggu sebelum Natal, aku sudah mulai merasakan rindu yang mengendap pelan-pelan. Di rumah, suasana Natal biasanya mulai terasa sejak awal Desember. Mama akan sibuk membersihkan rumah, memasang lampu-lampu kecil, dan mulai memanggang kue-kue favorit kami. Papa memasang pohon Natal besar di sudut ruang tamu, dan adik-adikku saling berebut gantungan hiasan. Rumah selalu ramai, penuh tawa, nyanyian, dan aroma kayu manis yang hangat.
Tapi di tanah rantau ini, semuanya terasa sunyi. Di lingkungan tempat ku tinggal, Natal bukan perayaan besar. Tak banyak dekorasi, tak ada musik Natal di pusat perbelanjaan, dan tak ada undangan makan malam. Semuanya berjalan seperti hari biasa. Aku sempat berpikir untuk pulang, tapi jarak dan biaya membuatku harus menunda rencana itu. Aku pun memutuskan untuk tetap di sini dan mencoba menikmati Natal semampuku.
Pada malam 24 Desember, aku duduk di kamar kosku yang kecil. Tidak ada pohon Natal besar, hanya sebuah pohon plastik kecil yang kubeli di toko serba ada. Aku menghiasnya dengan lampu LED murah dan gantungan kertas yang kubuat sendiri. Di sampingnya, aku meletakkan sepotong kue cokelat dan secangkir teh manis—“perayaan” kecil untuk diriku sendiri. Aku membuka laptop dan mengikuti misa malam Natal secara online dari gereja di kampungku. Melihat gereja yang penuh, mendengar suara paduan suara, dan melihat wajah-wajah jemaat yang kukenal membuat mataku berkaca-kaca. Aku melihat mama dan papa duduk di deretan bangku tengah, dan rasanya seperti ditarik pulang lewat layar. Lagu “Malam Kudus” membuat dadaku sesak oleh rindu, tapi juga damai.
Pagi 25 Desember, aku bangun lebih awal. Matahari bersinar lembut di luar jendela. Aku memasak nasi goreng dan membuat secangkir kopi. Tidak seperti sarapan Natal di rumah yang penuh hidangan istimewa, tapi cukup untuk membuat hari ini terasa berbeda. Aku mengenakan kemeja putih—hadiah dari adikku tahun lalu—dan menyapa keluarga lewat video call. Mereka sedang bersiap untuk makan siang Natal. Kami tertawa, bercerita, dan walau jaraknya jauh, kehangatan tetap terasa.Siangnya, aku berjalan ke taman . Hanya beberapa orang yang duduk-duduk di sana. Ada satu keluarga kecil yang sedang berfoto, anak-anak yang bermain bola, dan sepasang kakek-nenek yang saling menggandeng tangan. Melihat mereka membuatku tersenyum. Di dunia ini, Natal memang hadir dalam berbagai bentuk. Tidak selalu meriah, tapi selalu bermakna.Saat malam tiba, aku duduk lagi di kamar,. Aku menulis tentang rasa sepi, rindu, dan juga tentang rasa syukur. Meski sendiri, aku merasa damai. Aku sadar, Natal bukan hanya tentang kumpul-kumpul, hadiah, atau makanan enak. Natal adalah tentang kehadiran kasih. Dan kasih itu, aku rasakan lewat doa, kenangan, dan suara-suara hangat dari orang-orang yang mencintaiku, meski dari kejauhan.Natal 2023 bukanlah Natal yang kuharapkan, tapi justru Natal yang kubutuhkan. Ia mengajarkanku untuk menemukan makna dalam keheningan, kekuatan dalam kesendirian, dan kebahagiaan dalam hal-hal yang paling sederhana.




Tags